PAHIT
Karya : Qammara FM
Jalan berliku telah ku lalui, namun tak pernah
kutemukan sosok lelaki seperti dirimu. Sosok yang membuatku merekah layaknya
bunga anggrek yang putih dan terlihat suci.
***
Bukannya aku menyerah. Aku hanya pasrah dengan keadaan yang kian lama kian merenggut batinku yang telah usang. Aku kusam termakan usia yang hampir menghabisiku. Aku lapuk karena cinta yang tak kunjung datang kepangkuanku. Bukan waktu yang menghalangi, tapi sikap selektif dan obsesiku terhadap lelaki itu. Lelaki yang diam-diam menyadarkanku akan indahnya jatuh cinta dan tanpa dia sadari, dia pula yang menghempaskanku jauh ke dasar samudera.
Lama aku menjadi pengagum setianya. Bukan
pengagum tapi seorang pecinta. Pecinta yang ingin cintanya dibalas, walau tak
tahu kapan waktu itu datang. Sosoknya telah lama ku nanti untuk kumiliki
seutuhnya tanpa ada rayuan dan paksaan yang tak berarti.
“Mungkin, inilah takdir yang diberikan Tuhan.
Aku ingin mencari cinta yang lain. Tapi hati dan raga ini seakan memagutku kuat
dengan rayuan mautnya. Dan sekarang aku terjebak kedalam cinta yang tak suci
lagi.“ aku merengut memberi kesan penyesalan dengan luka penuh kecewa.
Seperti itulah aku. Setiap hari kubiarkan rasa
sakit dan perih menggerogoti tubuh ini. Hanya dia yang dapat mengeluarkanku
dari derita ini. Derita yang kurasa tak pernah berujung. Aku percaya takdir
Tuhan ! Tapi, Tuhan tidak memercayaiku lagi tuk mencari cinta yang lain.
Berjuta mimpi yang kau rajut
Kini telah terurai kembali dan menjadi
gumpalan-gumpalan benang kusut
Ku ukir selalu tanda cintamu dalam akar cinta
dihati
Bukan ku tak kuasa tuk membencimu
Hanya saja aku merasa rela tuk kau sakiti
Aku perih, sayang
Kau menebar luka yang tak kunjung sembuh
Kau menepis asa yang tak sempat kuraih
Aku mulai menulis sepenggal kalimat puitis
yang ku sulap menjadi puisi romantis. Hanya untuk dia. Kuberikan seutuhnya hati
ini hanya untuk dia. Tak pernah terpikir olehku untuk melenyapkannya dari
hidupku. Aku merasa sempurna bila disisinya. Seruan cinta selalu terngiang di
sanubari ini, seolah memanggil-manggil namanya yang tak pernah menginginkan
untuk kulupa. Namanya yang selalu terkenang dilubuk hati terdalam.
“Aku mencintaimu, Aska.“ kukecup tanganku yang
bertuliskan namanya dengan tinta hitam.
“Aku takkan bisa melupakanmu. Melupakan semua
kenangan yang pernah kita buat bersama. Melupakan semua janji yang kini telah
kau ingkari dengan sendirinya.“ cucuran air mataku mulai menganaksungai dan
mulai membentuk lautan tak terbendung.
Serasa berada di alam penghinaan. Aku terkunci
didalam jeruji kemunafikan. Bukan sekedar maaf ataupun sebuah kecupan yang
kuingin. Gemerlap malam seakan mengantarku pada sebuah penyesalan. Penyesalan
karena sudah menjadi wanita yang tergolong jalang dimata Tuhan.
***
3 tahun yang lalu
“Aku akan selalu mencintai dan menjagamu,
Mery.“ Aska mengecup keningku mesra.
“Aku percaya padamu. Sepenuhnya.“ aku
menyandarkan kepalaku didadanya yang bidang dan terlihat maskulin.
Kemesraan itu tak berlangsung lama ketika aku
tahu bahwa Aska sudah mempunyai kekasih. Aku kecewa, aku merasa terkhianati.
Aku bersedia menawarkan diri karena cintaku memang tulus untuknya. Aku siap
menanggung resiko dengan sebutan wanita jalang karena telah merebut kekasih
orang.
“Jadikan aku kekasih keduamu, Mas. Ku mohon.“
aku memelas berharap Aska mengiyakan permintaanku.
“Maaf, Mery. Tapi, aku tak mau berpisah
dengannya. Aku sangat mencintainya.“ Aska melepaskan genggaman lembutku dan
berusaha menjauh beberapa langkah dariku.
“Tapi, kau bilang kau mencintaiku.” tangisku
mulai buyar kembali didepannya, aku merasa lemah terjebak oleh cintanya.
“ Itu dulu. Sebelum peristiwa ini terjadi.
Maafkan aku, Mer. Aku harus meninggalkanmu.“ Aska beranjak pergi dan mulai menghilang dari pandanganku. Namun, aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja tanpa merasa
berdosa.
“Kau harus bertanggung jawab, Mas ! Kau takkan kubiarkan pergi
meninggalkanku begitu saja !” aku menarik tangannya dengan kasar. Aska setengah
terkejut dengan perlakuanku.
“Atas apa ? Atas semua yang sudah terjadi ? Bukankah itu karena
kita sama-sama suka ?” jawabannya membuat tubuhku mendadak lunglai. Tentu saja
dia harus bertanggung jawab atas semua itu.
“Kau sudah berjanji …” hanya itu kata-kata yang mampu kuucapkan
didepannya. Aku terduduk di kursi taman, tetap memegang tangannya erat.
“Persetan dengan janji, Mer ! Janji dibuat untuk diingkari, bukan
?” Aska sedikit berteriak dan langsung menepis tanganku secara kasar. Aku hanya
bisa menangis meratapi hidupku yang sudah tak suci lagi.
Dia pergi. Meninggalkan luka yang sangat dalam. Aku terlalu bodoh
untuk memercayai setiap rayuan-rayuan yang dia berikan kepadaku, dan akhirnya
aku terjerumus. Terjerumus kedalam dosa yang tak berujung. Aku sakit, Tuhan !
Inikah karmaku karena sudah melanggar segala perintah-Mu ?
Tubuhku
terasa tak berdaya layaknya terserang penyakit yang tak kunjung sembuh. Aku
bingung, kecewa, marah ! Semuanya berbaur dengan air mata dan peluh yang sejak
tadi menawarkan jasanya untuk singgah ketubuhku. Baru kali ini aku merasakan
cinta yang teramat sakit dan perih.
***
Semenjak kejadian itu, aku sering menyendiri
dan terus mengenangnya. Aku tak mengerti,mengapa semua ini harus terjadi padaku
? Adakah didunia ini lelaki yang mau dan berusaha jujur dalam menjalin suatu
hubungan ?
Aku putus asa. Aku memetik satu persatu
kelopak mawar yang mulai layu. Berharap dia kan kembali kepelukanku dan merenda
tali kasih seperti dulu lagi. Tapi, apakah itu mungkin ? Aku yakin, sekarang
dia sedang berbahagia karena sudah menjadikan kekasihnya sebagai seorang istri .
Sedangkan aku ? Aku merasa tercekik dengan kesendirian ini.
“ Aku ingin pulang, Bu. Pulang ke pusara indah
Ibu. “ setiap hari aku berdoa begitu. Berharap ada malaikat maut yang lewat dan
mendengar doaku.
Hati ini terasa sunyi. Tak ada lagi rayuan
gombal yang kudengar. Tak ada lagi janji yang kupegang. Tak ada lagi
pertanggungjawaban yang seharusnya kudapatkan. Lalu, untuk apa aku hidup dalam
kenistaan yang tiada berujung dan tiada pula menemukan titik terang ? Apakah
Tuhan sengaja mengujiku ?
“Aku tak sanggup, Tuhan. Aku ingin bahagia.“
percikan kata terlalu bersemangat keluar dari mulutku. Tanpa kusadari, kakiku
melangkah lemah menuju daun pintu yang sedari tadi terbuka.
Aku melihat cahaya terang. Lebih terang dari
cahaya matahari yang bahkan bisa membuat matamu menjadi buta. Aku keluar
perlahan. Berusaha menggapai sesuatu dengan jemari-jemari lentikku. Aku tak
tahu apa yang sedang berusaha ku raih. Tiba-tiba jemariku menyentuh sesuatu
yang lembut. Sangat lembut.
Sekilas cahaya itu mulai meredup namun tidak
sepenuhnya padam. Aku masih tidak bisa melihat siapakah sosok dibalik cahaya
itu. Mataku terlalu susah untuk menangkap setiap gerak-gerik bayangannya. Aku
terkesiap ketika dia mulai menunjukkan wajah anggunnya. Aku kenal dia. Sangat
mengenalnya.
“Ibu ?“ tanyaku pelan. Ibu hanya menganggukkan
kepala.
Tangan ibu mulai menarikku lembut. Ibu
membawaku terbang ketempat yang tak terduga. Putih. Semuanya putih. Ibu
tersenyum melihatku yang setengah keheranan. Entah mengapa, semua rasa beban
yang tak mampu kulalui kini telah menghilang. Hilang seperti abu yang
beterbangan.
Aku bebas, Tuhan. Aku terbebas dari semua
penderitaan duniawi yang tak ingin lagi kuingat. Kenangan pahit bersama Aska,
tak lagi kuhiraukan. Banyak yang lebih menyayangi dan mencintaiku. Termasuk
Ibuku sendiri. Dan kini, aku akan abadi bersama Ibu di tempat suci dan putih
ini.